Asal-usul penyebaran agama islam dipulau jawa

by

helmy

ISLAM JAWA oleh gus Muwaffiq..
26229870 1387579308037977 1233548995300001846 n Asal-usul penyebaran agama islam dipulau jawa


Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda namanya Snouck Hurgronje. Dia
ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik,
Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam
Indonesia.

Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan
Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul
Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan Belanda.

Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari
rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje
masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia
belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya
paham betul Islam.

Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck
Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu.
Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu
tidak ada.

Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya
Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran
Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat
tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak
ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet.
Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.

Maka, ketika
Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan
nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa.
Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia,
bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.

Begitu belajar
bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi
(sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa
inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .

Yang disebut ruz,
ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi
dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi
ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.

Begitu ditutu, ditumbuk,
digiling, mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai
gabah. Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice .
Begitu bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice.
Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana masih ruz,
rice.

Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa,
disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini
namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning
namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut,
disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.

Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.

Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam
Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting
(berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau
rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).

Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje
di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang
lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia
saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah
Arab.

Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang
bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang
bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia,
jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil
Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja
dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.

Lha
, akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia.
Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia,
Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati
(essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.

Kenapa?
Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang
Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya
budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.

Kalau
Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban
mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah
dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan
sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih
uang Rp 10 juta belum tentu mau.

Islam datang ke Eropa juga
dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu,
karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian
ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam
kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit.

Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia
ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang
menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya
bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya
Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar
dan kaya-raya.

Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu
(dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya
mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai
surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti
bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga
tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah.
Artinya dakwah disini tidak mudah.

Diceritain pangeran, orang
Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga
sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya.
Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.

Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari
raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa
juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu.
Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana,
kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.

Dibawah Brahmana
ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga
tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada
kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak
boleh bicara agama.

Di bawah itu ada petani, pedagang dan
saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama.
Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa
dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu
Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.

Yang cerita
Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami
Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan
meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta
Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca.
Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.

Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan
Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu
bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.

Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan
manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti
Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa
melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa
atau murco.

Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu
tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya
menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut
menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat
kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.

Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk
gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah,
namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar
dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan
Pancamakara.

Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan
dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan
ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi
dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.

Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak
pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak
bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul
orang-orang macam Sumanto.

Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika
sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka
kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.

Ada
1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang
Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka
Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang
tidak bisa dimakan orang Jawa.

Nama ulama itu Sayyid
Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya,
kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di
duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian mereka diusir.

Ada
yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan
Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta,
artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas
Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan
Bajul Sengoro.

Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya
dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah
Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak
Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah
Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di
Gresik.

Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri,
menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah.
Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang,
arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh
sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat
tumpengan.

Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan,
ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu
diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.

Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid
Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di
daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh
Jumadil Kubro.

Disana dia punya murid namanya Syamsuddin,
pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya
murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid
Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan
Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan
Walangsungsang.

Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya
anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo.
Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel.
Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.

Mengislamkan
Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit
Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok
malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa
ditebang.

Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya
beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29
disebutkan : “…. masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in
ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz
zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”

Artinya: “…………Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di
atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena
Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan
orang-orang mukmin)……………”

Islam itu seperti tanaman yang
memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya
bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar
anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.

Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi.
Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau
diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.

Mau menanam
Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini
sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, disini
sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini sudah ada shastri,
kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan.

Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat
syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi
langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi
pengertian orang Jawa tentang mati.

Kalau Hindu kan ada
reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia).
Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling
revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip
inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi.
Bagaimana caranya?

Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.

Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka
tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan
hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah
hafal dengan tembang.

Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak
lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat
lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek,
nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok,
menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang
jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok
silit, gudighen.

Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit,
berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan
dalam bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang
hidup harus bisa membaca perkara Empat.

Keempat perkara itu
adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa
itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya
dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu
belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.

Ada sari makanan
yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan
mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di
rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal
daging. Inilah produk dunia.

Begitu jadi segumpal daging,
nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?”
(apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya
Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka
ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau
tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf,
7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )

Kemudian,
setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad.
Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek
anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung;
orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan
cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.

Itu disebut Tembang
Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah
teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa
itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua
malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah.

Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode
mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur
tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok
ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya
Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.

Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran
Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau
memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil
‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca
aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.

Mau kaya kalau
memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu ,
kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing
kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.

Maka, kiai
dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang
‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama
saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya:
satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.

Satu
mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh;
sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang
dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya
nur dengan nar.

Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti
tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo ,
sabut ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan
bidan untuk imunisasi.

Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami
tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir
laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing
satu.

Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu,
bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan
ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji,
malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah
mancing, potong saja kailnya.

Anak Kinanti ini waktunya
sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti
keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah
mulai ndablek, bandel.

Apalagi, setelah Sinom, tembangnya
asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di
nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan
perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.

Setelah
Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya
kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel, manusia
mengalami tembang Dhurma.

Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu
apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau
pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu
mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?

Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang
bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi
tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.

Anak manusia yang
sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus
sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang
Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.

Terakhir
sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau
Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu
kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya :
siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).

Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir.
Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man
rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir
apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.

Ketika ingin disaduk,
Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah
Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa
sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU
juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya
orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh
Allah.”

Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar,
ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul
kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian
jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh
malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil
seperti tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.

Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah
buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol –
gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada
yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!

Begitu
tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya.
Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang
nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning
nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini
ngaji, ya disana mencuri kayu.

Lho, lha ini orang-orang kok.
Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang
lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia
kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya
paling ya kaos Slank.

Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya
disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang
ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah ,
kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham
kalau itu buatan Sunan Bonang.

Maka, kemudian, oleh Kanjeng
Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor
semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.

Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu
kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti
ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini
piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang
belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti
Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.

Ketika
tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku
itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir,
tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo
menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang
shalat.

Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol:
kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung.
Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak
cah angon ayo memanjat mangga.

Akhirnya ini praktek, shalat.
Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat
‘imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.

Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil
jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka
manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan.
Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.

Padahal
tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian.
Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh,
mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal
khasirin.

Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan
masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang
perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah
lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak
galak: di urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma’mum buruan
masuk. Itu tumbuhnya dari situ.

Kemudian, setelah itu shalat.
Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa,
disini beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya
berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya
bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh
para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.

Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek,
geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho,
sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang
sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan
dengan keras, agar ma’mum tahu apa yang sedang dibaca imam.

Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi
ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi.
Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng
Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun
gajah.

Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam,
agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi
milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa
rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad)
kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Maka, shalawat
itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala
Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu
bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.

Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur
melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal
baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan
pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang
mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.

Nama grupnya Awara.
Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya
bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya
malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang
dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.

Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam
dengan hukum, tidak dengan budaya. “Urusanmu kan bukan urusan agama,
tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama,
mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.

Namun Sultan
Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak
menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak
kecil dan diajari nyanyian:

Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x

Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu
ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu
tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.

Mata
kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak
bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah
lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak
memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.

Kalau kepala
memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul
ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti
menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul.
Inilah cara orang dulu, landai.

Akhirnya semua orang ingin tahu
bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang
Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi
menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di
Sulawesi.

Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru
Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan
Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan
Islam di Kalimantan.

Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.

Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan
para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita
ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah,
adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.

Maka di mana di dunia
ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada
yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an
ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan
ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban.

Dan yang bertanggungjawab
dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang
menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok
banyak yang bilang tidak Islam.

Nah, sistem perjuangan seperti
ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan
sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah
organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan
Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama
inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu
kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.

Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya
Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi,
namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran,
gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di
desa juga ada yang hutang rokok.

Tapi Nahdlatul Ulama ini yang
menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang
membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid
sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi
tabi’in , maknanya pengikut.

Murid Tabi’in namanya
tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya
tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau
kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.

Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti
gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai
Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim,
Boyolali.

Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul
Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah
Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran
Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.

Sunan Geseng
hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid
Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid
Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid
Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.

Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid
Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid
Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid
Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim,
murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid
Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali
karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.

Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.

Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.

Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka
ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi
begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya.

Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit
tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik”
oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.

Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak
cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad
al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.

Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran
semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang
Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.

Orang
Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”. Orang Padang,
Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”. Orang
Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”.

Di Jawa
diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka .
Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”.
Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena
punyanya ma ga ba tha nga.

Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot
” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali
disuruh membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha
‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’
Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.

Karena perbedaan logat lidah
ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun
Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran , namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam.
Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya
tidak usah pada ribut.

Murid ulama itu beda dengan murid
Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online”
langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah
jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.

Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama
dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya
manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang
se-kampung.

Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang
mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini
sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di
Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai
dengan hukum pelajarannya ulama.

Anda sekalian disuruh dzikir
di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan
saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak
berdzikir.

Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak
dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir.
Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya.
Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca
Alquran. Maka diadakan semaan Alquran.

Mulut tidak bisa
membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan
lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di
telinga ada Alqurannya.

Maka, jika bukan orang Indonesia,
takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena,
seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi
sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo
Kayuku Yo Kayumu.

Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat
pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh
subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia.
Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak
dari Indonesia.

Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya
seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat
dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik
Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan
benih teroris.

Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul
Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada
ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau
ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.

Saya
yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda
lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga
jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi
organisasi terbesar di dunia.

Dari Muktamar Makassar jamaahnya
sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta
turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat,
seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha
kalau pas nderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak
pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama
agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW.

SUMBER

Dishare ke blog www.helmykkediri.id karena dianggap menarik dan memberikan pencerahan bagi sebagian umat yang sering memberikan vonish bid’ah

Related Post