10 Alasan Kenapa Mahasiswa IT Gak Bisa Ngoding

by

helmy

BLOGORANGIT– Jurusan IT atau komputer memang cukup populer, karena jurusan ini dianggap keren dan bergengsi. Namun, tidak sedikit dari lulusan mahasiswa IT yang tidak menguasai coding atau bahasa pemrograman. Walaupun prospek pekerjaan  mereka tidak terbatas pada coding, namun sarjana IT setidaknya perlu menguasai beberapa bahasa pemrograman

Apabila mahasiswa IT tidak bisa melakukan coding, maka mustahil bisa bersaing di tengah kemajuan industri teknologi saat ini. Masa iya mahasiswa IT kalah dengan orang-orang yang belajar ngoding secara otodidak atau ikut kursus ngoding, percuma mereka kuliah bertahun-tahun

Alasan Kenapa Mahasiswa IT Gak Bisa Ngoding

Lalu, apa saja alasan mahasiswa di jurusan IT tidak bisa coding? Simak ulasan berikut ini untuk menemukan jawabannya.

1. Salah Masuk Jurusan

Alasan pertama adalah alasan yang paling klasik, yaitu salah masuk jurusan. Kuliah jurusan IT memang terlihat keren, namun pembelajarannya  tidak sesederhana yang dibayangkan. Kebanyakan orang beranggapan kuliah IT hanya tentang Microsoft Word atau membuat presentasi di PPT, sedangkan realitanya banyak mata kuliah yang diberikan di luar perkiraan.

Misal, pemrograman android, pemrograman web, pengolahan citra, data mining, algoritma pemrograman, struktur database, jaringan komputer, AI, Visual studio, visual basic, robotik dan sebagainya sangat kental dengan unsur ngodingnya

Ada juga yang masuk jurusan IT karena menghindari matematika, padahal mahasiswa jurusan IT juga mempelajari aljabar linier dan ilmu matematika deskrit sebagai dasar bahasa pemrograman. Ketidaksiapan inilah yang membuat kebanyakan mahasiswa kaget, dan tidak mempelajari coding dengan serius karena dari awal sudah kesulitan dalam penalaran logikanya

Kurangnya pengetahuan mengenai jurusan IT juga bisa menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini membuat banyak orang menganggap jurusan ini mudah dan menyenangkan karena setiap hari pegang laptop kemana-mana, namun ketika perkuliahan dimulai justru mereka tidak siap mental dengan pembelajaran mata kuliah yang dianggap rumit.

Ketidaksiapan ini membuat para mahasiswa menjalani aktivitas kuliah ala kadarnya, yang penting melakukan presensi, mengerjakan tugas (copas punya teman), dan mendapatkan nilai. Materi yang diberikan di kelas pun mereka anggap sudah cukup dan tidak perlu lagi diperdalam. 

Paling mentok sampai level CRUD (tambah, lihat, edit, hapus) atau malah tidak paham sama sekali. Tentu saja alasan-alasan tersebut membuat kualitas mahasiswa IT mengalami penurunan setiap tahun, mereka kalah dengan programmer otodidak maupun peserta kursus ngoding didunia kerja

Paling mentok begitu lulus jadi tukang entri data, tukang ketik, yang sebenarnya kemampuan ini melenceng jauh dari kriteria sarjana IT yang sesungguhnya

2. Belum Terbiasa dengan Sistem Belajar di Perguruan Tinggi

Banyak mahasiswa yang belum terbiasa dengan sistem pembelajaran di perguruan tinggi. Terlebih kalau mata kuliah coding diajarkan pada semester awal, yaitu semester satu atau dua. Mahasiswa baru pada semester ini kebanyakan belum terbiasa dengan pembelajaran mandiri yang diterapkan di perguruan tinggi.

Siswa SMA selalu didekte mengenai materi yang harus dipelajari, dan cukup hanya dengan mempelajari materi yang ada di kelas (Sumber LKS). Sedangkan mahasiswa di perguruan tinggi berbeda, materi di dalam kelas adalah pengantar untuk mahasiswa belajar lebih lanjut di luar kelas.

Apabila mahasiswa hanya mengandalkan materi di dalam kelas, tentu tidak akan cukup. Skillnya tidak akan berkembang, kemampuan menguasai coding juga tidak terlatih. Sedangkan banyak mahasiswa yang merasa mengandalkan materi di kelas saja sudah cukup.

Dosen sendiri biasanya mendownload sekumpulan materi dari internet dan memberikannya kepada mahasiswa, karena terlalu banyak materi terkadang membuat mahasiswa justru malas belajar

3. Mudah untuk Mencontek

Alasan lain mengapa mahasiswa IT tidak bisa coding adalah sering mencontek tugas, dan memang banyak source code yang bisa dicari diinternet. Jadi mahasiswa tidak perlu repot membuat source code sendiri, dan cukup mengcopy-paste source code tersebut dan mengirimnya kepada dosen. 

Saya sendiri kalau ada tugas ngoding java misalnya juga sering saya upload diblog dengan tujuan backup ilmu, tetapi kurang tau juga kalau nanti adik kelasnya copas-copas terus dikumpulin kedosen

Dalam hal ini, banyak mahasiswa yang tidak peduli mengerti atau tidak, yang penting memperoleh nilai A/B.

Padahal, saat dilakukan wawancara kerja, mahasiswa IT yang mendapatkan nilai A tersebut belum tentu bisa lolos tes dasar coding. Banyak teman saya yang lulus dengan predikat cumlaude dan tidak bisa ngoding (bukan hal aneh lagi)

Tes ini bisa berupa deret bilangan prima, sorting object, dan sebagainya. Kasus-kasus semacam ini banyak diajarkan pada mahasiswa IT, terutama oleh kampus-kampus kelas menengah, namun bisa jadi mahasiswa tersebut tidak mengerti sama sekali (memang tidak ada niat untuk mengerti)

Kemajuan teknologi tentunya sangat membantu kehidupan manusia, namun di sisi yang lain juga menyebabkan munculnya rasa malas. Mencontek menjadi hal yang mudah dilakukan, dan dosen terkadang hanya sekedar melakukan penilaian, namun tidak dengan pengecekan keaslian pekerjaan (plagiarisme)

4. Gap Knowledge Dosen dan Mahasiswa Terlalu Lebar

Gap knowledge antara dosen dan mahasiswa terlalu jauh, juga menjadi salah satu alasan. Dosen, umumnya harus lulusan S2, dan sering memberikan penjelasan yang terlalu rumit untuk dimengerti oleh mahasiswanya. 

Kebiasaan semacam ini sering dilakukan tanpa sadar, dan mereka lupa jika mahasiswanya adalah mahasiswa baru yang pemahamannya masih kurang. Tidak hanya itu, terkadang istilah-istilah asing yang digunakan membuat materi mengenai coding semakin susah untuk dipahami. Materi yang sulit dan istilah yang tidak mudah diingat menjadi perpaduan solid sehingga materi coding semakin susah dikuasai.

Idealnya, seorang dosen harus bisa menjelaskan materi yang rumit dengan bahasa yang jauh lebih sederhana. Namun, hal tersebut bukanlah perkara mudah, karena mengubah penjelasan dari bahasa yang rumit ke bahasa yang lebih mudah dipahami mahasiswa membutuhkan usaha. Hal ini tentu saja memerlukan kesabaran ekstra dan pemahaman yang mendalam mengenai materi.

Dosen sekarang kalau pendidikannya tinggi sudah S2 S3 berubah jadi dosen killer, cuma memberi setumpuk materi > kasih tugas > presentasi > begitu terus sampai UAS

Baca juga: Alasan gue pilih jurusan teknik informatika

5. Banyak Mahasiswa yang Manja

Kemudahan teknologi serta budaya konsumerisme juga berdampak pada mental mahasiswa yang tidak mau susah alias ingin yang instan. Banyak dari mereka yang kuliah untuk menyombongkan diri, pamer sedang berada ditempat tongkrongan, pamer circle pertemanan, dan pamer kendaraan atau kekayaan orang tua. Akan tetapi, hal tersebut tidak diimbangi dengan skill dan pencapaian

Mahasiswa semacam ini, lebih suka cara yang praktis dan instan, yang terpenting bisa memperoleh hasil bagus. Biasanya mereka membayar jasa joki untuk mengerjakan tugas, berapa pun biaya yang harus dikeluarkan tentu tidak jadi masalah karena budaya konsumerisme ini.

Jasa joki termasuk pengerjaan tugas coding untuk mahasiswa IT bertebaran dimana-mana, bahkan beberapa dimanfaatkan sebagai peluang usaha. Hal ini menyebabkan mahasiswa di bidang tersebut tidak bisa berkembang. Kemampuan mereka di bidang IT seperti coding pun semakin tumpul

Dibelakang kampus biasanya banyak jasa untuk memperbaiki laporan skripsi sesuai format kampus, jasa mengerjakan project akhir skripsi dalam bentuk aplikasi/game juga sangat terjangkau harganya

6. Mahasiswa IT Tetap Lulus Meskipun Tidak Bisa Coding

Alasan semacam ini sekilas terlihat aneh dan tidak tau malu, namun banyak terjadi di kampus-kampus yang ada di Indonesia. Banyak kampus yang bersedia meluluskan mahasiswanya, meskipun tidak bisa coding. Padahal, meski tidak begitu pandai melakukan coding, namun penguasaan dasar coding tentunya harus bisa dipahami

Akan tetapi, tidak semua kampus yang memiliki jurusan IT seperti itu. Beberapa kampus mungkin tidak akan meluluskan mahasiswa jika tidak menguasai basic coding (disuruh ngulang skripsi karena tidak menguasai pembangun project). Namun, beberapa yang lain tetap meluluskannya, sehingga banyak mahasiswa yang meremehkan skill tersebut.

Misal, karena sudah skripsi gelombang terakhir maka pihak kampus menerima semua project mahasiswanya meski hanya 70% selesai bahkan konsepnya belum matang sama sekali atau mungkin projectnya sama sekali tidak layak untuk diajukan sebagai Tugas Akhir (hasil download di internet atau beli jadi)

7. Rendahnya Minat Baca

Rendahnya minat baca, tidak hanya dialami oleh mahasiswa IT, namun tampaknya juga dialami oleh kebanyakan mahasiswa di Indonesia. Minat baca dan belajar yang rendah membuat skill mereka tidak terasah dengan baik. Supaya handal dalam melakukan coding, tentu saja mahasiswa juga harus membaca, sebab ada hal-hal yang harus dihafalkan dan kemudian di praktekkan (tidak asal ctrl+spasi keluar codingnya)

Jika minat baca mahasiswa rendah, maka tingkat belajar secara mandiri juga bisa dikatakan rendah. Faktor ini kembali lagi kepada individu yang bersangkutan, dan berhubungan dengan seberapa serius dan seberapa tinggi keinginannya untuk belajar.

8. Persepsi Bahwa Setelah Lulus Proses Belajar Sudah Selesai

Sebagian besar mahasiswa berpikiran bahwa ketika sudah lulus dari bangku perkuliahan maka proses belajar sudah selesai. Pemikiran semacam itu tentunya salah besar, terutama pada bidang informatika. Perkuliahan hanyalah sebagai pengantar atau gerbang, kemudian prakteknya tentu saja harus dipelajari sendiri.

Kuliah hanya memberikan materi mengenai cara membuat program. Namun, praktek pembuatan program tentunya harus dipelajari dan dikembangkan sendiri setelah mahasiswa lulus dari kampus. Bahkan, banyak cabang-cabang ilmu informatika yang tidak terdapat di kampus, namun bisa dipelajari serta di perdalam setelah lulus.

Terlalu lama menganggur dan tidak update skill dibidang IT juga menjadi masalah serius ketika skill yang anda kuasai misal C++ sudah tidak dibutuhkan didunia kerja

9. Menutupi status pengangguran

Ada juga lulusan SMA yang malu dengan status pengangguran lalu mendaftar di perguruan tinggi agar memperoleh status sebagai mahasiswa. Setelah kuliah mereka justru fokus bekerja diluar kampus entah part time, full time, anehnya mereka mengatakan “Bekerja untuk biaya kuliah” tetapi kuliah jarang masuk, kalaupun masuk ketika UAS saja, tugas tidak pernah mengumpulkan, akhirnya disuruh mengulang semester tahun depan, karena malu akhirnya keluar

Ini adalah tipe mahasiswa yang sibuk dengan dunianya sendiri, mereka merasa bekerja dan memiliki bisnis sehingga urusan kuliah benar-benar tidak menjadi prioritas. Kalaupun mereka mengulang semester dengan membayar tetap saja mereka tidak bisa ngoding 

10. Mahasiswa Kupu-kupu

Istilah untuk mahasiswa yang hanya pulang pergi kuliah, tidak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler apapun dan jarang bergaul dengan teman-temannya

Datang ke kampus kalau ada jam kuliah saja, selain itu mereka dirumah. Biasanya mereka menjauh dari pergaulan dan memiliki beberapa teman khusus. 

Nah teman khusus inilah yang selalu dimintai contekan setiapkali ada tugas. Memiliki kepribadian introvert parah dan kehadirannya tidak dianggap penting oleh teman-teman yang lain

www,helmykediri.com

Related Post