Aspek Hukum Di Tengah Penanganan Pandemi Covid-19 Di Indonesia

by

helmy

Tugas Rangkum Kewarganegaraan:
Penyebaran virus covid-19 kini menjadi suatu hal yang dikhawatirkan oleh seluruh masyarakat Indonesia meskipun pada awalnya kemunculan virus ini sempat diremehkan dan dijadikan humor belaka seperti corona (komunitas rondo mempesona) atau merek mobil Toyota Corona namun kini persebaran virus covid-19 menjadi momok yang sangat menakutkan ditengah masyarakat. 
Berbagai himbauan, nasehat dan anjuran dari pemerintah tidak benar-benar dipatuhi oleh masyarakat, ini terbukti dengan masih maraknya masyarakat yang menggelar acara untuk mengundang berkumpulnya banyak orang. 
Aspek Hukum Di Tengah Penanganan Pandemi Covid
Presiden Jokowi didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Sekretaris Kabinet Pramono Agung dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengumumkan temuan kasus infeksi virus corona pertama di Indonesia pada Senin 2 Maret 2020. 
Tidak ada yang mengira bahwa virus corona akan menyebar luas di Indonesia sebagaimana negara tempat kemunculannya pertamakali di Kota Wuhan, China
Berbagai informasi hoax yang menyebar di internet mengatakan bahwa cuaca dan iklim di Indonesia secara alami dapat membunuh virus covid-19, apalagi indonesia dikenal sebagai negara yang masyarakatnya terbiasa mengkonsumsi rempah-rempah yang dianggap mampu mencegah infeksi virus corona, informasi hoax tidak hanya menyebar dalam bentuk artikel teks, namun juga dalam bentuk gambar meme yang lucu. 
Itulah yang menyebabkan masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya menganggap virus ini sebagai ancaman yang menakutkan 
Seiring berjalannya waktu, jumlah korban jiwa baik yang terinfeksi virus corona maupun yang meninggal terus mengalami peningkatan hingga hari ini 29 Juni 2020 tercatat 2.805 kasus meninggal dunia , 55.092 terkonfirmasi positif dan 23.800 berhasil disembuhkan. 
Pemerintah menetapkan protokol pemakaman bagi penderita covid-19 yang dianggap oleh sebagian besar masyarakat terlalu mengerikan karena jenazah tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Jenazah dimandikan tanpa membuka pakaiannya bahkan sebagian petugas medis memilih untuk tidak memandikannya atau ditayamumkan sesuai ketentuan dlarurat syar’iah, jenazah tidak boleh dibawa pulang oleh pihak keluarga ke rumah dan dimakamkan sesuai protokol pemakaman jenazah pasien covid-19
Beberapa tempat ibadah ditutup, kantor dan pabrik diliburkan sementara, masyarakat yang datang dari luar kota wajib melakukan karantina mandiri selama 2 minggu dan imbasnya terjadi peningkatan PHK akibat corona. 
Sejak saat itu, corona tidak lagi menjadi pandemi virus yang dianggap enteng. Bukan hanya itu saja, pemerintah juga menghimbau agar masyarakat mematuhi prinsip sosial distancing atau menjaga jarak ketika berkumpul, hal ini berdampak langsung pada perilaku sosial dan ekonomi didalam bermasyarakat
Aspek hukum ditengah penanganan pandemi covid-19 di indonesia
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang telah dijamin haknya secara konstitutional belakangan ini, padahal jaminan konstitusi terhadap hak atas kesehatan sejatinya sudah ada sejak masa Konstitusi Republik Serikat (RIS) tahun 1949 yang berbunyi “Penguasa senantiasa berusaha dengan sunguh-sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat”
Namun, setelah bentuk negara serikat kembali ke bentuk negara persatuan dan diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS), ketentuan pada Pasal 40 Konstitusi RIS kembali di Adopsi ke dalam Pasal 42 UUDS. 
Sejalan dengan itu, dalam Konstitusi World Health Organization (WHO) tahun 1948 menegaskan kembali bahwa “the enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being” (memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap orang)
Istilah yang digunakan sejak awal adalah “fundamental rights” bukan “human rights” yang artinya “Hak hak dasar”. Kemudian di tahun 2000, melalui Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, tentang kesehatan ditegaskan kembali sebagai bagian dari hak asasi manusia. 
Selanjutnya dalam pasa 28H ayat (1) dinyatan secara jelas bahwa ” Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”
Masuknya ketentuan tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 rupanya telah membuat perubahan paradigma yang besar. Kini kesehatan dipandang sebagai suatu hukum (legal rights) yang ketentuannya sudah dijamin oleh negara bukan lagi dianggap sebagai urusan pribadi setiap individu yang ditentukan oleh nasib atau karunia Tuhan. 
Untuk menindaklanjuti dan mengantisipasi keadaan darurat akibat penyakit zoonosis (penyakit yang infeksinya ditularkan dari hewan ke manusia) , telah dibentuk serangkaian regulasi yang mengatur tentang perlindungan dan pencegahan penyakit menular berbahaya , yaitu:
1) Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273);
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Keschatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236);
6) Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana pada Kondisi Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 34)
Mengacu pada beberapa aturan di atas, pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi dalam upaya menanggulangi wabah ini yaitu:
1) Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang refocussing kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
2) Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19
3) Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang  penetapan bencana non alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.
4) Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 2020 oleh Presiden Joko Widodo.
5) Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus  Disease 2019
6) Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Penerbitan regulasi sebagai langkah untuk menangani penyebaran Covid-19 merupakan bentuk atau upaya pemerintah dalam mendukung keberadaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang menetapkan pandemi sebagai bencana non-alam yang potensi ancamannya perlu dikelola. 
Setelah mempelajari jenis wabah, penularan dan fakta dilapangan, lahirlah upaya-upaya yang saat ini dilakukan secara nyata meliputi:
A) Kebijakan Physical Distancing atau Social Distancing
Social distancing merupakan upaya untuk menghambat penyebaran virus dengan cara mencegah orang sakit melakukan kontak dengan orang-orang disekitarnya demi menghindari penularan. Social distancing masih tidak dipatuhi oleh masyarakat meskipun pemerintah telah berulangkali menghimbaunya melalui media televisi, disosial media sampai pada tempat-tempat yang berpotensi menjadi kerumunan orang. 
Sebaiknya, kebijakan social distancing harus ditambahkan kedalam aturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang tentang upaya penanganan pendemi covid-19, yang salah satunya menyebutkan sosial distancing sebagai kewajiban yang harus dipatuhi oleh seluruh elemen masyarakat
Kalau perlu, terdapat penegasan tentang sanksi dan hukuman positif  bagi masyarakat yang masih mengabaikan social distancing supaya mereka sadar dan mengetahui betapa pentingnya menerapkan kebijakan ini dalam kehidupan sehari-hari. 
Kebebasan individu harus dibatasi dalam bersosialisasi mengingat kondisi yang terjadi sekarang ini menimbulkan kegentingan yang mengancam kesehatan publik. 
Dalam perkembangannya istilah social distancing dirubah menjadi physical distancing sesuai istilah yang digunakan WHO karena istilah sebelumnya dianggap menimbulkan persepsi seolah-olah interaksi didalam masyarakat harus di hentikan sementara padahal apa yang di inginkan pemerintah hanyalah menjaga jarak fisik dalam bersosialisasi
Sejak pemberlakukan kebijakan ini akhirnya semua aktivitas yang dilakukan dengan jarak fisik berdekatan dirubah menjadi aktivitas jarak jauh seperti halnya pembelajaran online dengan metode daring , pekerjaan yang dilakukan dari rumah (WFH) , penutupan tempat ibadah dan mal-mal untuk mencegah penyebaran covid-19 semakin meluas
B) Melindungi Tenaga Kesehatan Sebagai Garda Terdepan

Petugas kesehatan berdiri sebagai garda terdepan dalam memperlambat penyebaran infeksi virus corona, pemerintah harus memberikan perlindungan, keselamatan, upah bagi tenaga medis penanganan covid-19 contohnya menyediakan obat-obatan dan APD (Alat Pelindung Diri). 
Banyak petugas media yang meninggal karena terinfeksi virus corona, terkena serangan jantung akibat bekerja nonstop 24 jam, menangani pasien dalam jumlah banyak, kelelahan setelah berusaha memenuhi kebutuhan primer setiap pasien dan sebagainya
Perlindungan terhadap tenaga kesehatan dari pemerintah nampanya belum ada kepastian hukum yang memberi hak khusus bagi tenaga medis meskipun Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan tidak disebutkan secara jelas bagaimana pelaksanaan dan petunjuk teknis yang mengatur tentang perlindungan hukum dan keselamatan kerja bagi tenaga kesehatan. Pemerintah juga membiarkan penugasan sewenang-wenang terhadap tenaga medis
C) Kebijakan PSBB

Kewenangan untuk memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 yang mengatur tentang karantina kesehatan merupakan hak absolut dari pemerintah pusat. 
Pada pasal 1 Ayat 1 dinyatakan bahwa “kekarantinaan kesehatan dilakukan untuk mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat  yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan  masyarakat”. 
Oleh sebab itu, jika ada pemerintah daerah yang merasa wilayahnya berada dalam situasi darurat akibat covid dan hendak memberlakukan kebijakan lockdown, itu merupakan langkah inkonstitutional dan perlu upaya konsul antara kepala daerah dengan pemerintah pusat sebelum memberlakukan kebijakan lockdown
Selanjutnya, atas kondisi darurat covid-19, pemerintah menetapkan Peraturan No.21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka untuk mempercepat penanganan Corona Virus Disease alias Covid-19
1) bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian telah meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia;
2) bahwa dampak penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah mengakibatkan terjadi keadaan tertentu sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan, salah satunya dengan tindakan pembatasan sosial berskala besar;
Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) mengatur tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan persetujuan Menteri Kesehatan. 
PP 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) tentunya diputuskan dengan pertimbangan yang banyak sesuai kultur negara Indonesia. 
Kebijakan lockdown total tidak diambil pemerintah sebagaimana diterapkan dibanyak negara seperti india hingga menyebabkan chaos dan berbagai permasalahan sosial yang mengerikan. Pemerintah Indonesia hanya menghimbau kepada warga supaya berdiam diri dirumah, bekerja dari rumah, beribadah di rumah , membatasi pertemuan massal demi mencegah penyebaran virus covid-19
D) Transparansi pemerintah dalam menangani wabah Covid-19

Jumlah korban jiwa , jumlah pasien sembuh akibat terinfeksi covid-19 harus diketahui oleh publik. Keterbukaan segala informasi tentang Covid-19 mengacu pada UU No.14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik yang menuntut pemerintah sebagai badan publik harus transparansi.  
Pada awalnya dulu, informasi mengenai data pasien covid-19 sempat dirahasiakan oleh pemerintah supaya tidak terjadi kepanikan didalam masyarakat. 
Namun, seiring berjalannya waktu dan pertimbangan kondisi yang kian memprihatinkan membuat pemerintah membuka informasi kepada publik mengenai data-data pasien meninggal dunia , positif terinfeksi , sembuh, untuk memantau rantai penyebaran virus covid-19 di Indonesia
Mengacu pada UU No. 14 tahun 2008, pandemi COVID-19 bukan informasi publik yang dikecualikan oleh Undang-Undang, sebagaimana informasi yang dapat membahayakan negara, karena sejak awal bulan Januari 2020 sudah ramai berita mengenai wabah covid-19 di Kota Wuhan, Tiongkok dan kebenarannya sudah di konfirmasi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). 
Selanjutnya terdapat ketentuan yang mewajibkan pemerintah dalam UU No.14 Tahun 2008 untuk memberikan informasi sejelas-jelasnya dan membuka akses bagi masyarakat luas untuk mengetahui informasi tentang kesehatan dan penyakit menular yakni pada pasal 17, Pasal 154 dan 155 UU No.36 tahun  2009
Selanjutnya pasal 79 dan 80 UU No.6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan juga memberi landasan otoritas bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menyampaikan informasi kekarantinaan kesehatan sebagai bagian dari langkah mencegah dan memberantas segala resiko kesehatan yang dapat menyebabkan kedaruratan ditengah masyarakat
E) Validitas Data Hasil Pemeriksaan

Pemeriksaan kesehatan untuk mengetahui infeksi Covid-19 dilakukan melalui 2 cara yaitu rapid test dan swap test. Cara pertama melalui Rapid Test dianggap kurang akurat atau memiliki tingkat akurasi yang sangat rendah bahkan pada orang dengan gejala covid-19. Banyak orang dinyatakan positif setelah melakukan rapid test namun kenyataan tidak terinfeksi atau sebaliknya. 
Pemerintah sendiri sudah mengakui bahwa rapid test tidak akurat akibatnya dilakukan test dengan mengambil lendir hidung atau tenggoran untuk mendeteksi molekul RNA melalui tes PCR (Polimerase Chain Reaction) dan cara ini diklaim lebih akurat. 
Padahal pemerintah sudah memesan 500.000 alat rapid test dari China dan menyebarkannya ke berbagai daerah namun hasilnya kini justru diragukan. Selanjutnya ada swap test, meski dianggap paling valid tetapi hasil pemeriksaan melalui swap test membutuhkan waktu yang sangat lama sehingga banyak kasus pasien yang meninggal dinyatakan ODP dimakamkan dengan protokol Covid-19 namun setelah hasil pemeriksaan keluar ternyata negatif. Alhasil , jenazah harus dibongkar lagi dan dimandikan secara umum
Berdasarkan fakta dilapangan menunjukkan bahwa berbagai regulasi yang diterbitkan pemerintah guna menghentikan penyebaran Covid-19 nampaknya belum berhasil, hal itu bisa dilihat dari jumlah pasien yang terus bertambah, angka kematian terus meningkat. 
Regulasi dari pemerintah tidak akan berjalan efektive apabila tidak dilaksanakan dengan tegas dan santun didalam bermasyarakat. Peran serta dari seluruh pihak terkait sangat diperlukan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai betapa pentingnya menerapkan regulasi dari pemerintah pusat
Baik dari Pihak Kepolisian, Aparat Daerah dari level tinggi hingga level terendah, TNI, Lembaga-lembaga Negara, Mahasiswa, perlu melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang langkah-langkah pencegahan  terhadap virus covid-19 agar wabah ini segera berakhir. 
Pemerintah harus bekerjasama dengan seluruh elemen masyarakat untuk menuntaskan masalah ini. Saat ini, dampak sosial dan ekonomi mulai terasa di tengah masyarakat. Banyak jalan-jalan yang di tutup dan hilangnya mata pencaharian akibat PHK sepihak 
Pemberlakukan PSBB berdasarkan Keppres yang diterbitkan bisa dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan dan mempertimbangkan tingkat penyebaran virus yang begitu besar disuatu daerah seperti Ibu Kota Jakarta dan Surabaya. 
Hal ini perlu untuk di evaluasi kembali karena apabila pembatasan skala besar dilakukan setelah jumlah terinfeksi semakin besar maka akan menjadi tidak efektif karena waktu yang dibutuhkan untuk menunggu jumlah yang memenuhi syarat untuk dapat diberikan izin memberlakukan PSBB sama dengan menunggu semakin banyak warga yang terinfeksi.
Semua daerah di Indonesia harus dilakukan PSBB meskipun daerah tersebut dinyatakan dalam zona hijau, jangan sampai pada tingkat penyebaran virus yang meluas dimana semua daerah secara bersamaan dinyatakan sebagai zona merah membuat Rumah Sakit kewalahan menampung jumlah pasien. 
Jangan sampai seperti kejadian diluar negeri, dimana pasien yang memiliki harapan hidup tinggi lebih diprioritaskan sementara pasien dengan potensi hidup rendah dibiarkan begitu saja

Related Post