Keutamaan dan dalil mengenai puasa syawal

by

helmy

Hikmah dan manfaat puasa syawal 

Faedah  pertama:  Puasa  syawal  akan  menggenapkan  ganjaran  berpuasa setahun penuh
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” 
Para  ulama  mengatakan  bahwa  berpuasa  seperti  setahun  penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan. Bulan Ramadhan  (puasa  sebulan  penuh)  sama  dengan  (berpuasa)  selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).
Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].”
Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal. Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.
Lebih utama puasa syawal dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal. Lebih  utama  pula  dilakukan  secara  berurutan  namun  tidak jika dilakukan tidak berurutan.
Usahakan untuk menunaikan qadha’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qadha’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah. 
Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib. 
Faedah  ketiga:  Melakukan  puasa  syawal  merupakan  tanda  diterimanya amalan puasa Ramadhan.
Jika  Allah  menerima  amalan  seorang  hamba,  maka  Dia  akan menunjuki pada amalan shalih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Allah akan tunjuki untuk melakukan amalan shalih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.
Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf, 
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَ
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”
Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ”Tidak ada nikmat yang lebih besar dari anugerah pengampunan dosa dari Allah.” 
Sampai-sampai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosa yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. 
Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. 
‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?” 
Beliau lantas mengatakan, 
ارًوكُشَ ادًبْعَ نُوكَُأ َلَفَأ
“Tidakkah layak bagiku menjadi hamba yang bersyukur?.” 
Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di mana di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalui bacaan takbir ”Allahu Akbar”.
 Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa  pada  Allah  atas  petunjuk-Nya  yang  diberikan  kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di  waktu  malam  mereka  diberi  taufik  oleh  Allah  untuk  melaksanakan shalat tahajud. 
Inilah bentuk syukur mereka. Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan  hanya  sekali  saja  ketika  mendapatkan  nikmat.  Namun  setelah mendapatkan  satu  nikmat,  kita  butuh  pada  bentuk  syukur  yang selanjutnya. 
Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: ”Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya” 
Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinue dan bukan ibadah musiman saja.
Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian  manusia  begitu  bergembira  dengan  berakhirnya  bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. 
Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ’ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.
Asy  Syibliy  pernah  ditanya,  ”Bulan  manakah  yang  lebih  utama, Rajab  ataukah  Sya’ban?”  Beliau  pun  menjawab,  ”Jadilah  Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. 
Kami (penulis) juga dapat mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin  dan  janganlah  menjadi  Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. 
Semoga Allah memberi taufik. 
’Alqomah  pernah  bertanya  pada  Ummul  Mukminin  ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,
ةًلَ “كَانَ عَمَلُُ دِيمَ
”Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).” 
Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan  ajal  (waktu  akhir)  untuk  amalan  seorang  mukmin  selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
”Dan  sembahlah  Rabbmu  sampai  datang  kepadamu  al  yaqin  (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99). 
Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. 
Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah setiap saat, sepanjang hidup

Related Post