Mengqodho dan membayar fidyah bagi yang meninggalkan puasa ramadhan

by

helmy

Siapakah yang Terkena Qadha’ Puasa?

Yang  dimaksud  dengan  qadha’  adalah  mengerjakan  suatu  ibadah  yang memiliki batasan waktu di luar waktunya. Adapun orang yang dikenakan qadha’ puasa adalah orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa, wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk puasa, seorang musafir, juga wanita yang mendapati haidh dan nifas.

Qadha’ Ramadhan Boleh Ditunda

Qadha’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di bulan Dzulhijah  sampai  bulan  Sya’ban,  asalkan  sebelum  masuk  Ramadhan berikutnya. 
Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda qadha’ puasanya  sampai bulan Sya’ban. 
Akan  tetapi  yang  dianjurkan  adalah  qadha’  Ramadhan  dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala,
أُولَٰئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)

Mengakhirkan Qadha’ Ramadhan Hingga Ramadhan 

Berikutnya Syaikh  Ibnu  Baz  menjawab,  “Orang  yang  menunda  qadha’  puasa  sampai Ramadhan berikutnya tanpa uzur wajib bertaubat kepada Allah dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qadha’ puasanya … Dan tidak ada kafarah (tebusan) selain itu. 
Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.” Namun  apabila  dia  menunda  qadha’nya  karena  ada  udzur  seperti  sakit 
atau  bersafar,  atau  pada  wanita  karena  hamil  atau  menyusui  dan  sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqadha’ puasanya.”
Syaikh  Muhammad  bin  Shalih  Al  ‘Utsaimin  menganggap  bahwa memberi  makan  kepada  orang  miskin  karena  menunda  qadha’  puasa sampai Ramadhan berikutnya dapat diangggap sunnah dan tidak wajib. 
Dengan  alasan  bahwa  pendapat  tersebut  hanyalah  perkataan  sahabat dan menyelisihi nash (dalil) yang menyatakan puasa hanya cukup diganti (diqadha’) dan tidak ada tambahan selain itu. 

Tidak Wajib untuk Berurutan Ketika Mengqadha’ Puasa

Dasar dibolehkannya hal ini adalah Frman Allah Ta’ala,
فعَِدَّةٌ مِنْ أيَاَّمٍ أخَُر
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). 
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan”. 
Barangsiapa Meninggal Dunia, Namun Masih Memiliki Utang Puasa, Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa  yang  mati  dalam  keadaan  masih  memiliki  kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”
Yang  dimaksud  “waliyyuhu”  adalah  kerabat,  menurut  Imam Nawawi. Ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ahli waris. Namun hukum membayar puasa di sini bagi ahli waris tidak 
sampai wajib, hanya disunnahkan.
Boleh beberapa hari qadha’ puasa dibagi kepada beberapa ahli waris. Kemudian  mereka  (boleh  laki-laki  ataupun  perempuan)  mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga dengan serempak beberapa ahli waris membayar utang puasa tersebut dalam satu hari.
Yang dibayarkan puasa di sini adalah orang yang ketika hidupnya mampu dan punya kesempatan untuk mengqadha’ namun belum dilakukan hingga meninggal dunia.

Pembayaran Fidyah

Bagi orang yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, serta orang sakit yang sakitnya tidak kunjung sembuh, maka wajib bagi mereka fidyah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184).
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”. 

Cara Penunaian Fidyah

1.  Ukuran  fidyah  adalah  dilihat  dari  ‘urf  (kebiasaan  yang  layak)  di masyarakat setempat. Selama dianggap memberi makan kepada orang miskin, maka itu dikatakan sah. 
2. Fidyah harus dengan makanan, tidak bisa diganti uang karena inilah perintah yang dimaksud dalam ayat.163
3. Satu hari tidak puasa berarti memberi makan satu orang miskin.  
4. Bisa diberikan berupa makanan mentah (ditambah lauk) atau makanan yang sudah matang
5.  Tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum Ramadhan.
6.  Waktu  penunaian  fidyah  boleh  setiap  kali  tidak  puasa,  fidyah ditunaikan, atau bisa pula diakhirkan di hari terakhir Ramadhan lalu ditunaikan semuanya.

Related Post