Ghibah yang diperbolehkan dalam islam

by

helmy

Selamat Datang di Blog Orang IT. Ketika tiba saatnya pemilu kita akan melihat banyak kiriman dari pendukung petahanan maupun oposisi menghiasi profile beranda akun sosial media, itu tidak bisa dicegah mengingat setiap kandidat memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan itulah yang sering dibanggakan oleh pendukung petahana sementara kekurangan itulah yang disebarkan  oleh pihak oposisi.

Ghibah yang diperbolehkan dalam islam

Menyebarkan aib orang lain itu dosa , namun menyebarkan keburukan dan kedzaliman seorang pemimpin itu tidak berdosa. Keputusan seorang pemimpin mempengaruhi kehidupan jutaan umat jadi dengan menyebarkan keburukan pemimpin berarti kita telah menyelamatkan banyak umat dari terpilihnya pemimpin yang dzalim yang kebijakanya selalu bertentangan dengan islam dan memusuhi islam
Mengatakan atau mempermalukan atau menyebarkan keburukan orang lain adalah apa yang disebut ghibah. Karena itu berarti berbicara tentang rasa malu orang lain sementara dia tidak pada saat percakapan. 
Dosa ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Semua muslim terhadap muslim yang lain adalah harom, yaitu darahnya, kehormatannya, dan hartanya”. [HR. Muslim]

DEFINISI GHIBAH

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwsanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian apakah ghibah itu?”. Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.  
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ حَمَّاد عَنْ إبْرَاهِيْمَ قَالَ : كَانَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ : الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ
“Dari Hammad dari Ibrahim, dia berkata : Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata :”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan”
Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.”
Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah.”

Ghibah yang diperbolehkan

Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama-sama keharaman. Namun untuk ghibah dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:
Secara lebih rinci Imam An-Nawawi menyebutkan enam kondisi itu sebagai berikut:
1. Pertama, dalam sidang perkara di muka hakim. Seseorang boleh menceritakan perbuatan penganiaya yang memperlakukannya secara zalim.
Misal : Si fulan selalu memukul dengan tongkat setiap korban melakukan kesalahan saat bekerja, begitu pula siksaan lain seperti jarang memberi makan , memberikan makanan basi , mengurung dsb
2. Kedua, dalam melaporkan pelanggaran hukum kepada aparat kepolisian atau otoritas terkait dengan niat mengubah kemungkaran tersebut.
3. Ketiga, dalam meminta fatwa kepada seorang mufti. Seseorang boleh menceritakan masalahnya untuk memberikan gambaran yang jelas bagi ulama yang mengeluarkan fatwa. Tetapi kalau penyebutan nama secara personal tidak dibutuhkan, lebih baik tidak mengambil jalan ghibah.
4. Keempat, dalam mengingatkan publik agar terhindar dari kejahatan pihak baik personal maupun institusi. Hal ini dilakukan antara lain oleh para ahli hadits terhadap perawi-perawi bermasalah atau misalnya dalam konteks kekinian adalah travel umrah bermasalah.
Ghibah dalam Rangka Menjelaskan Perbuatan Fasik dan Bid’ah Seseorang yang Dilakukan Secara Terang-Terangan
Misalnya, orang yang secara terang-terangan minum khamr, merampas harta orang lain, mengambil harta secara zalim, sering berjanji kemudian mengingkari dan melakukan tindakan-tindakan batil, orang berperilaku seperti ini boleh digunjing tentang keburukan yang dia kerjakan secara terang-terangan.
Contoh lain, jika ada seseorang yang memegang sebuah jabatan namun ia tidak menunaikannya dengan baik, baik itu karena sengaja, lalai, atau memang dia tidak layak memegang jabatan tersebut, maka kasus seperti ini harus dilaporkan kepada pimpinannya. Agar dirinya mendapatkan nasehat, peringatan, atau bahkan dialihkan jabatannya pada pekerjaan yang dia mampu.
Namun, tidak boleh menggunjing aib-aibnya yang lain kecuali jika ada sebab lain yang membolehkannya.
5. Kelima, dalam kondisi di mana pihak-pihak tertentu melakukan kejahatan terang-terangan seperti meminum khamar, mengambil harta secara zalim, menarik upeti, mengambil kebijakan-kebijakan batil seperti RUU yang mendukung zina , minuman keras dsb
Dalam kondisi ini, kita boleh mengghibahkan pihak tersebut sesuai dengan kejahatan yang diperlihatkannya. Tetapi kita haram menyebutkan aib lain pihak tersebut yang tidak dilakukan secara terang-terangan.
Misalnya, orang yang secara terang-terangan minum khamr, merampas harta orang lain, mengambil harta secara zalim, dan melakukan tindakan-tindakan batil, orang berperilaku seperti ini boleh digunjing tentang keburukan yang dia kerjakan secara terang-terangan.
Namun, tidak boleh menggunjing aib-aibnya yang lain kecuali jika ada sebab lain yang membolehkannya.
6. Keenam, Ghibah dalam Rangka Mengenalkan atau menandai seseorang dengan kekurangan fisik atau gelar-gelar buruknya. Misalnya Abdullah. Orang bernama Abdullah tidak satu. Tetapi kita boleh menyebutnya tanpa maksud merendahkan, “Abdullah yang buta, Abdullah yang tuli, Abdullah yang bisu, dan lain sebagainya.” Baiknya sebutan itu didahului kata “maaf” untuk menghilangkan kesan merendahkan.
Jika seseorang dikenal dengan julukan tertentu, maka boleh mengenalkan dengan julukan itu. Seperti si fulan yang buta matanya, si fulan yang pincang kakinya. Tapi, penyebutan itu tidak boleh dilakukan dalam rangka menghina, hanya sekedar untuk mudah mengenali. Yang lebih baik adalah mengenalinya dengan sebutan-sebutan yang baik dan positif. (Riyadhus Shalihin, Imam an-Nawawi, 441/442)
Hal yang perlu diperhatikan dalam enam jenis ghibah yang dibolehkan dalam Islam di atas adalah, niat, maksud dan tujuannya harus mengarah kepada kebaikan, upaya menasehati, mengislah, dan tanpa ada unsur niat tercela apapun.  (Disadur dari buku Rihlah Ma’a ash-Shadiqin karya Mahmud al-Mishri Abu Ammar
Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya (yang termasuk ghibah itu), misalnya engkau berkata pada saudaramu itu: “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.
عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ :إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ….فَقَالَ النَّبِيُّ : اِغْتَبْتِها
“Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek”….maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut”

Ghibahi seorang calon pemimpin

Kalau kita perhatikan apa yang dimaksud oleh Imam Nawawi di atas, ghibah masih dibolehkan jika ada maslahat dan ada kebutuhan. Misal saja, ada seseorang yang menawarkan diri menjadi pemimpin dan ia membawa misi berbahaya yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, apalagi ia mendapat backingan dari non muslim dan Rafidhah (baca: Syi’ah), maka sudah barang tentu kaum muslimin di ingatkan akan bahayanya. Namun yang di ingatkan adalah yang benar ada pada dirinya dan bukanlah menfitnah yaitu menuduh tanpa bukti. Wallahu waliyyut taufiq.
Enam kondisi ini bukan mengada-ada. Enam kondisi ini disar’ikan dari berbagai hadits shahih antara lain riwayat yang dikemukakan sahabat Ibnu Mas‘ud RA sebagai berikut:
وروينا في صحيحي البخاري ومسلم عن ابن مسعود رضي الله عنه قال: قسم رسول الله (صلى الله عليه وسلم) قسمة، فقال رجل من الأنصار: والله ما أراد محمد بهذا وجه الله تعالى، فأتيت رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فأخبرته ، فتغير وجهه وقال: رحم الله موسى لقد أوذي بأكثر من هذا فصبر .وفي بعض رواياته: قال ابن مسعود: فقلت لا أرفع إليه بعد هذا حديثا. قلت: احتج به البخاري في إخبار الرجل أخاه بما يقال فيه
Artinya, “Kami diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas‘ud RA. Ia bercerita bahwa Rasulullah SAW membagikan ghanimah suatu peperangan. Ada salah seorang Ansor kecewa, ‘Demi Allah, Muhammad dengan ini sedang tidak mengharapkan ridha Allah.’ Aku–kata  Ibnu Mas‘ud RA–menemui Rasulullah SAW lalu menceritakan kekecewaan tersebut. Seketika warna wajah Rasulullah SAW berubah karena marah lalu berkata, ‘Semoga Allah memberikan rahmat-Nya untuk Musa yang disakiti umatnya lebih dari ini, lalu ia bersabar.’ Pada sebagian riwayat, Ibnu Mas‘ud RA berkata, ‘Setelah itu aku tidak membawa cerita kekecewaan seorangpun kepada Rasulullah SAW.’ Menurut kami, Imam Bukhari berhujah dengan hadits ini perihal kebolehan seseorang yang menceritakan ucapan orang lain,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 293).
Hadits lain yang berkaitan dengan kondisi fatwa atau meminta fatwa atau pertimbangan jodoh adalah hadits riwayat Hindun dan Fathimah binti Qais berikut ini:
وفي الصحيح حديث هند امرأة أبي سفيان وقولها للنبي (صلى الله عليه وسلم): إن أبا سفيان رجل شحيح… إلى آخره. وحديث فاطمة بنت قيس وقول النبي (صلى الله عليه وسلم) لها: أما معاوية فصعلوك، وأما أبو جهم فلا يضع العصا عن عاتقه.
Artinya, “Dalam kitab Shahih diriwayatkan hadits Hindun, istri Abu Sufyan dan keluhannya kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah suami yang bakhil…’ dan hadits Fathimah binti Qais yang meminta pertimbangan dua lelaki yang meminangnya, lalu Rasulullah SAW mengatakan kepadanya, ‘Mu‘awiyah bin Abu Sufyan lelaki miskin. sedangkan Abu Jahm tak pernah lepas tongkat dari bahunya (suka memukul istri),’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 294).
Dari pelbagai hadits itu, ulama menyimpulkan bahwa ghibah pada enam kondisi ini dibolehkan tanpa maksud merendahkan, tetapi dengan niat memperjelas atau mengatasi persoalan.
فهذه ستة أسباب ذكرها العلماء مما تباح بها الغيبة على ما ذكرناه. وممن نص عليها هكذا الإمام أبو حامد الغزالي في  الإحياء وآخرون من العلماء، ودلائلها ظاهرة من الأحاديث الصحيحة المشهورة، وأكثر هذه الأسباب مجمع على جواز الغيبة بها.
Artinya, “Ini enam sebab yang disebutkan ulama di mana seseorang boleh melakukan ghibah. Ulama yang menyebutkan sebab ini antara lain adalah Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin dan sejumlah ulama lain. Dalilnya jelas, hadits-hadits shahih yang masyhur. Mayoritas sebab yang disebutkan disepakati ulama terkait kebolehan ghibah,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 293).
Ghibah dibolehkan untuk kepentingan umum, kepentingan hukum, politik atau maslahat yang dibolehkan menurut syar’i

BAGAIMANA JIKA YANG DIGHIBAHI ADALAH ORANG KAFIR?

Imam As-Shan’ani berkata: “Perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits Abu Hurairah di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama, merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh dighibah”. 
Ibnul Mundzir berkata: ”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti Yahudi, Nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya” 
Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Imam As-Shan’ani berkata: “Dan pada perkataan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam بِمَا يَكْرَهُ (dengan apa yang dia benci), menunjukan bahwa jika dia (saudara kita yang kita ghibahi tersebut) tidak membenci aib yang ditujukan kepadanya, seperti orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang gila, maka ini bukanlah ghibah”. 
Syaikh Salim Al-Hilali berkata: ”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang harom, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah:
ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ
“Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk”. [Al-Hujurat : 11] 
Yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu).

Hukum Ghibah

“Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Pada malam isra’ aku melewati sekelompok orang yang melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku bertanya: ”Siapakah mereka ya Jibril?”. Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang mengghibahi manusia, dan mencela kehormatan-kehormatan mereka”.
Dalam riwayat yang lain :
قَالَ رَسُوْلُ الله : لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati sekelompok orang yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya: ”Siapakah mereka ya Jibril?”. Jibril menjawab: ”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatan mereka”.
Hukum ghibah adalah haram berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Namun terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, apakah ghibah termasuk dosa besar atau termasuk dosa kecil?.
Imam Al-Qurthubi menukilkan ijma’ bahwasanya ghibah termsuk dosa besar. Sedangkan Al-Gozhali dan penulis Al-‘Umdah dari madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwasanya ghibah termasuk dosa kecil.
Wallahualam
Sumber NU.or.id & dakwah.id

Related Post